JAKARTA Media Aksi – Bulan ini menjadi bulan yang sangat buruk bagi Adobe. Pengguna setia yang telah menggunakan Photoshop, Premiere Pro, dan berbagai software Adobe lainnya selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, mulai meninggalkan Adobe secara massal. Tak hanya itu, Adobe bersama dua eksekutifnya dituntut ke pengadilan karena tindakan yang dianggap ilegal dan merugikan penggunanya.
Awal mula kesuksesan Adobe
Didirikan pada tahun 1982 oleh Charles Geschke dan John Warnock, tidak ada yang menyangka bahwa Adobe akan menjadi penguasa dominasi software kreatif profesional. Produk pertama mereka, PostScript, adalah page description language yang memungkinkan pencetakan dengan akurasi tinggi, sangat penting di dunia desktop publishing saat itu.
Adobe mulai masuk ke pasar software konsumen dengan merilis Adobe Illustrator pada tahun 1987, diikuti oleh Photoshop pada tahun 1990. Mereka membeli real-time video editor dan mengubahnya menjadi Adobe Premiere pada tahun 1991. Ekspansi terus berlanjut dengan pembelian After Effects pada tahun 1994 dan Macromedia pada tahun 2005, memperluas lini software Adobe.
Transformasi ke model berlangganan
Pada tahun 2012, Adobe memperkenalkan Adobe Creative Cloud dengan sistem berlangganan, menggantikan sistem sekali beli yang telah digunakan sebelumnya. Sistem ini menjadi satu-satunya cara untuk menggunakan software Adobe pada tahun 2013. Sistem berlangganan ini ternyata sangat menguntungkan Adobe, mengurangi penggunaan bajakan, dan meningkatkan pendapatan secara signifikan.
Pada akhir 2013, Adobe memiliki lebih dari 1,4 juta pelanggan, menghasilkan pendapatan sebesar 4,06 miliar dolar. Pada tahun 2023, pendapatan Adobe mencapai 19,41 miliar dolar dengan cash flow sebesar 7,3 miliar dolar, naik lima kali lipat hanya dalam waktu sepuluh tahun.
Kontroversi dan tuntutan hukum
Masalah dimulai pada awal Juni tahun 2024 ini, ketika pengguna Adobe menerima notifikasi perubahan Terms of Use (ToU) yang memungkinkan Adobe mengakses konten pengguna baik secara otomatis maupun manual. Pengguna tidak diberikan pilihan selain menyetujui ToU tersebut jika ingin tetap menggunakan software Adobe.
Pengguna Adobe merasa terpaksa dan marah karena Adobe memiliki hak untuk mengakses konten pengguna untuk keperluan operasional dan peningkatan layanan. Konten yang dimaksud termasuk teks, informasi komunikasi, audio, video, dokumen elektronik, dan foto. Adobe juga dapat menggunakan konten tersebut untuk melatih model generatif AI mereka, Adobe Firefly.
Setelah kontroversi ini menjadi viral, Adobe merevisi ToU mereka, mengklarifikasi bahwa konten pengguna tidak akan digunakan untuk melatih model generatif AI kecuali pengguna mengirimkannya ke Adobe Stock Marketplace. Namun, klarifikasi ini dianggap oleh banyak pengguna sebagai alasan untuk menyelamatkan diri.
Dampak pada pengguna dan industri
Banyak pengguna yang marah dan kecewa akhirnya memutuskan untuk beralih ke software alternatif. Affinity, misalnya, menawarkan diskon 50% untuk semua paket software mereka. Banyak pengguna Photoshop beralih ke Affinity Photo, dan pengguna Adobe Premiere Pro beralih ke DaVinci Resolve atau Final Cut Pro, yang masih menggunakan sistem sekali beli.
Meskipun demikian, masa depan Adobe masih mungkin tetap cerah karena statusnya yang sudah menjadi standar di dunia kreatif. Ekosistem Adobe yang kuat, lengkap dengan template dan add-on, serta kebiasaan pengguna yang sudah terbiasa dengan software Adobe, membuat banyak orang tetap membutuhkan Adobe dalam pekerjaan mereka.
Namun, ini menjadi pelajaran penting bagi Adobe untuk lebih menghargai pelanggannya dan tidak terlalu serakah dalam memanfaatkan pengguna.
Kesimpulannya, banyak pengguna yang meninggalkan Adobe dan beralih ke berbagai software alternatif akibat kontroversi ini. Ini menjadi momentum bagi kompetitor untuk mengambil alih pasar yang ditinggalkan oleh Adobe.