Fenomena Doom Spending : Ketika Belanja Jadi Obat Stres di Kalangan Anak Muda

belanja online
Ilustrasi belanja online

JAKARTA, Media Aksi – Belakangan ini, fenomena doom spending atau pola belanja impulsif sebagai bentuk pelarian emosional semakin marak terjadi di masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Di tengah berbagai tekanan kehidupan dan ketidakstabilan ekonomi, perilaku konsumtif ini kerap dipilih sebagai jalan pintas untuk meredakan stres dan kecemasan yang dirasakan.

Dalam pandangan Psikolog Khairunnisa Nuraini R., doom spending umumnya muncul pada saat seseorang merasa kehilangan kontrol atas kehidupannya. Beberapa faktor seperti beban pekerjaan, kondisi ekonomi yang tidak menentu, hingga kekhawatiran terhadap situasi global dapat menjadi pemicu utama perilaku ini.

“Doom spending terjadi saat seseorang terjebak dalam kondisi negatif yang berulang. Belanja menjadi pelarian yang memberikan kepuasan instan, meskipun bersifat sementara,” ujar Khairunnisa dalam program Cerita Penutup Hari di Pro 2 RRI Ambon, beberapa waktu lalu.

Khairunnisa menjelaskan bahwa aktivitas belanja yang dilakukan secara impulsif dapat memicu produksi hormon dopamin dalam otak, yang memberikan sensasi kesenangan sesaat. Namun, perasaan bahagia tersebut tidak bertahan lama dan seringkali diikuti dengan perasaan bersalah atau menyesal setelahnya.

Dalam analisisnya, Khairunnisa juga menyoroti pengaruh signifikan media sosial dalam memperburuk kondisi ini. Konten-konten yang menampilkan gaya hidup konsumtif seperti video haul dan unboxing menciptakan tekanan sosial tertentu dan memicu rasa takut tertinggal atau yang dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO).

“Paparan konten semacam ini mendorong seseorang membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Ini menciptakan siklus konsumsi yang tidak sehat,” jelasnya.

Untuk mencegah kebiasaan doom spending, Khairunnisa menekankan pentingnya kesadaran emosional sebelum melakukan pembelian. Ia mendorong agar setiap orang bertanya pada diri sendiri apakah keputusan untuk membeli sesuatu benar-benar didasari oleh kebutuhan atau hanya sebagai bentuk pelampiasan emosi belaka.

“Langkah awal adalah menyadari emosi sebelum belanja, jangan biarkan keputusan finansial ditentukan oleh dorongan sesaat,” katanya. Khairunnisa menambahkan bahwa edukasi mengenai kesehatan mental dan kemampuan mengatur emosi menjadi kunci pencegahan yang efektif.

Sebagai solusi jangka panjang, pendekatan psikologis dianggap penting bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam mengendalikan kebiasaan doom spending. Khairunnisa merekomendasikan beberapa teknik koping yang lebih sehat seperti menulis jurnal, berolahraga, atau berkonsultasi dengan tenaga profesional.

“Ini bukan soal siapa yang kuat atau lemah. Ini tentang memahami diri sendiri dan menemukan cara yang lebih sehat dalam merespon tekanan,” ujarnya.

Fenomena doom spending ini menjadi pengingat bahwa kesehatan mental memiliki peran yang sama pentingnya dengan stabilitas finansial di era digital yang penuh dengan berbagai tekanan.(*)

Pos terkait