MEDIAAKSI.COM – Ribuan pasien kritis di Jalur Gaza, termasuk penderita kanker dan korban luka perang, kini berpacu dengan waktu akibat terhalangnya akses medis ke luar negeri. Penutupan perlintasan perbatasan Rafah secara efektif telah menjebak mereka dalam penderitaan, mengubah harapan untuk sembuh menjadi penantian yang tak pasti.
Di antara reruntuhan rumahnya, Nour Mohammed Abu Madi (34) berjuang melawan kanker tulang di dalam sebuah tenda darurat. Tanpa akses kemoterapi dan izin untuk berobat ke luar, satu-satunya penopangnya adalah obat pereda nyeri yang semakin tak mampu membendung rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya.
“Satu setengah tahun yang lalu, saya didiagnosis menderita kanker tulang,” ungkap Abu Madi dengan suara lirih. “Saya mencoba berobat ke luar negeri, tetapi saya tidak bisa mendapatkan rujukan atau persetujuan, sementara obat yang saya butuhkan tidak ada di sini. Saya hanya mengandalkan obat pereda nyeri, dan kondisi saya semakin memburuk setiap hari.”
Kondisinya yang kian lemah membuatnya tak lagi mampu merawat anak-anaknya. “Saya merasa tubuh saya hancur, dan yang paling menyakitkan adalah saya tidak bisa lagi menjadi ibu seperti dulu. Anak-anak saya membutuhkan saya, tetapi saya bahkan tidak bisa memeluk mereka,” keluhnya.
Kisah serupa datang dari kamp pengungsi al-Nuseirat. Hanin al-Mabhouh (34) harus kehilangan kaki kiri dan keempat putrinya sekaligus saat serangan udara menghantam rumah mereka. Kini, ia hanya bisa termangu di kursi roda, menanti operasi pemasangan kaki palsu yang tak kunjung tiba.
“Saya kehilangan segalanya dalam sekejap. Rumah, keluarga, bahkan kemampuan untuk berdiri,” ratapnya. “Saya telah beberapa kali mengajukan berkas untuk mendapatkan pengobatan di luar negeri, tetapi tidak ada yang merespons. Setiap hari yang berlalu, harapan saya semakin pudar.”
Sistem Kesehatan di Ambang Kolaps
Kasus Nour dan Hanin hanyalah puncak gunung es dari krisis yang lebih besar. Menurut Monir al-Borsh, direktur jenderal otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 18.500 pasien dan korban luka sangat membutuhkan evakuasi medis. Namun, sejak awal tahun, hanya 680 orang yang berhasil keluar dari Gaza.
“Permohonan evakuasi medis sering ditunda atau ditolak meskipun semua prosedur internasional telah diselesaikan. Ribuan nyawa dapat diselamatkan jika pasien diizinkan keluar, namun banyak yang meninggal saat menunggu,” kata al-Borsh.
Krisis ini diperparah dengan kondisi sistem kesehatan Gaza yang berada di ambang kehancuran total. Kelangkaan bahan bakar telah melumpuhkan generator rumah sakit dan mesin X-ray, sementara tenaga medis bekerja di bawah tekanan ekstrem dengan sumber daya yang sangat terbatas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi bahwa evakuasi medis, yang dikoordinasikan melalui mekanisme internasional ke berbagai negara, telah menurun drastis sejak penutupan perbatasan Rafah pada bulan Mei. WHO mendesak adanya gencatan senjata dan jaminan akses kemanusiaan yang aman untuk membuka kembali jalur penyelamat nyawa ini.
Al-Borsh menambahkan dengan nada putus asa, “Setiap hari kami melihat puluhan kasus seperti Nour dan Hanin. Beberapa di antaranya bisa diselamatkan jika ditangani tepat waktu, tetapi perbatasan dan waktu yang menentukan nasib mereka.”







