MEDIAAKSI.COM – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, menyuarakan kekhawatiran para ahli iklim global mengenai potensi kembalinya fenomena El Nino yang diprediksi akan terjadi sekitar tahun 2027. Peringatan dini ini dikeluarkan mengingat El Nino tidak hanya memicu dampak lingkungan seperti kekeringan, tetapi juga berisiko menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik di Indonesia.
Kecemasan para pakar iklim bukanlah tanpa dasar. Menurut Dwikorita, prediksi ini muncul dari analisis pola siklus iklim yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena El Nino dan La Nina, yang merupakan bagian dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO), datang silih berganti dengan interval yang semakin menarik perhatian para ilmuwan. ENSO sendiri merupakan anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik yang menjadi penentu utama pola cuaca global.
Secara sederhana, El Nino terjadi ketika suhu permukaan laut di Pasifik bagian tengah dan timur menghangat lebih dari 0,5 derajat Celsius dari kondisi normalnya. Sebaliknya, La Nina terjadi saat suhu mendingin lebih dari 0,5 derajat Celsius. Dwikorita menyoroti siklus yang terjadi belakangan ini sebagai dasar kekhawatiran tersebut.
“Sekarang ini La Nina tahun 2020 terjadi berturut-turut sampai 2022, lalu terjadi El Nino 2023, sebelumnya El Nino 2019. Jadi empat tahun sudah El Nino. Ini para pakar iklim khawatir sekitar 2027 itu juga akan El Nino lagi,” ujar Dwikorita.
Meskipun saat ini kondisi suhu muka laut di Samudera Pasifik dan Hindia terpantau normal, BMKG terus melakukan pemantauan intensif untuk mendeteksi perubahan sekecil apa pun yang dapat menjadi sinyal awal kedatangan El Nino.
Krisis Pangan Hingga Gejolak Politik
Ancaman El Nino jauh melampaui sekadar isu cuaca panas dan kering. Fenomena ini memiliki implikasi serius yang bersifat multi-sektor. Dari sisi lingkungan, El Nino identik dengan penurunan curah hujan drastis yang dapat memicu kekeringan hebat, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), hingga krisis air bersih. Sektor pertanian menjadi yang paling rentan, di mana gagal panen dapat mengancam ketahanan pangan nasional.
Namun, Dwikorita menegaskan bahwa dampak El Nino yang paling mengkhawatirkan justru terletak pada aspek sosial dan politik. Berdasarkan data historis, terdapat korelasi kuat antara kemunculan El Nino dengan eskalasi ketegangan sosial di Indonesia. Kelangkaan sumber daya, terutama pangan dan air, dapat memicu keresahan di tengah masyarakat.
“Dampak itu mestinya tidak hanya pada lingkungan, tapi juga dampak secara sosial dan juga kestabilan sosial politik. Karena kami memiliki data, ada korelasi yang sangat dekat antara kejadian El Nino dengan kejadian gejolak sosial politik. Kejadian G30S PKI, kejadian Dekrit Presiden, kejadian reformasi,” pungkasnya.
Korelasi ini menunjukkan bahwa El Nino bukanlah fenomena alam biasa, melainkan sebuah ancaman kompleks yang membutuhkan kesiapsiagaan dan strategi mitigasi yang matang dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Antisipasi sejak dini menjadi kunci untuk meminimalkan risiko yang mungkin terjadi di masa depan.
 








